JAKARTA – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) periode 1999-2002, Viktus Murin, mengecam keras tindakan brutal dan tidak berperikemanusiaan dari orang-orang tidak dikenal yang menyerang Ketua Umum KNPI 2018-2021 Haris Pertama, pada Senin (21/2/2022) di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat. Viktus menjadi Sekjen GMNI tepat pada periode yang sama Ketua Umum KNPI diemban oleh Adhyaksa Dault yang kemudian menjadi Menpora RI.
Viktus yang kini adalah Tenaga Ahli Ketua MPR RI Bambang Soesatyo ini, peristiwa penyerangan brutal terhadap Haris telah merusak citra hukum positif di Indonesia. Dia menyatakan yakin jajara Kepolisian RI di bawah kepemimpinan Jenderal Listiyo Sigit Prabowo yang sejak awal tampil dengan jargon kelembagaan “Presisi” (prediktif, responsibilitas, transparasi, dan berkeadilan), tidak akan tinggal diam terhadap peristiwa memalukan wajah hukum ini.
“Aparat Polri adalah aparat hukum yang berwatak nasionalis dan profesional, yang menjadi bhayangkari negara sekaligus warga negara. Saya sungguh yakin begundal-begundal hukum yang menyerang Bung Haris pasti akan diburu aparat Polri. Kita tunggu saja Polri bersikap,” ucap Viktus yang pernah menjadi Tenaga Ahli Menpora Adhyaksa Dault pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Viktus, aktivis mahasiswa 1998 asal Nusa Tenggara Timur ini mengatakan, setiap tindakan yang menampar wajah hukum positif harus ditindak secara tegas dengan hukum positif. Dengan begitu kewibawaan hukum berikut segenap aparatur hukum dapat terjaga di mata rakyat. “Penyerangan terhadap Bung Haris bukan hanya menampar wajah hukum positif kita, tetapi juga menampar wajah kemanusiaan. Aneh, di zaman dengan peradaban mutakhir semacam sekarang ini masih ada saja orang-orang yang suka mengeroyok manusia secara fisik,” kecam Viktus yang juga mantan Sekretaris GMNI Cabang Kupang.
Dia meminta aparat Polri untuk segera memburu, menangkap, dan membula secara terang-benderang motif para penyerang Haris. Sangat berbahaya misalnya kalau penyerangan ini bermotif menebarkan ketakutan di ranah demokrasi.
“Negara Indonesia sejak awal merdeka, oleh para pendiri bangsa sudah mempersiapkan konstitusi negara yang di dalamnya terdapat jaminan hak berpendapat, artinya perbedaan pendapat di antara warga negara memang terlembagakan secara konstitusional. Bisa kacau dan berantakan tatanan hukum kita, kalau perbedaan pendapat justru diredusir sekedar menjadi sebatas adu otot,” pungkas Viktus, mantan wartawan Pos Kupang era awal 1990-an, yang kini aktif dalam media pelayanan majalah kristiani “Narwastu” untuk wilayah timur Indonesia. (***)
Jurnalis Independent Politic News