Upaya Mengembalikan Tujuan Demokrasi yang sesungguhnya
Oleh: Setiyo Haryono*
OPINI (SETYO HARYONO) : Kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) yang berlangsung lima tahunan cukup memberikan satu fakta yang memprihatinkan, pasalnya pasca reformasi pemilu diselenggarakan secara langsung, dimana masyarakat diberi wewenang untuk memilih calon legislatif dan presiden. Tentunya hal itu memiliki dua implikasi yang berbeda.
Secara proses, rakyat diuntungkan karena tidak menggunakan sistem keterwakilan suara seperti era Orde baru. Sehingga kehendak rakyat bisa tersalurkan. Namun , berjalannya waktu pemilu langsung telah berjalan kurang lebih 4 periode kepimpinan Nasional. Tepatnya sejak 2004, rakyat diberi keleluasaan hak pilihnya.
Namun di lain sisi, justru praktik pemilu langsung menjadi momentum pembodohan massal (political Blinding). Dimana para kontestan pemilu secara massive melakukan upaya propaganda dengan isue-isue yang sama sekali tidak mencerdaskan. Seperti isue SARA,. dan sentimen kelompok, yang justru mendistorsi tujuan dari pemilu itu sendiri.
Fenomena tersebut dapat dilihat ketika menjelang pemilu presiden atau legislatif, masing-masing kubu saling serang di dunia Maya , yang kemudian melambungkan trending di Twitter atau platform media sosial lainnya. Dan saat ini menjelang pemilu 2024, praktik tersebut terjadi lagi.
Hal ini lebih disebabkan oleh minimnya kedewasaan masyarakat dalam menyikapi pemilu, atau lebih tepatnya minimnya kecerdasan politik warga (politics Quotion). Belum lagi praktik money politic yang tidak luput dari pemandangan yang sudah dianggap lumrah.
Pertanyaannya adalah, sampai kapan Indonesia akan terjebak dalam konflik politik hingga melupakan tujuan politik atau pemilu itu sendiri? Dari sini kita bisa mengambil satu antitesa, bahwa masyarakat kita (Indonesia) butuh pendidikan politik. Artinya, kita para kaum intelektual memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan mereka.
Sudah barang tentu, bagi para kontestan pemilu ,wabil khusus para caleg pada semua tingkatan, mesti melakukan upaya pendidikan politik warga. Sehingga mereka lebih paham tujuan politik lewat pemilu. Setidaknya tidak melakukan praktik Money Politic.
Maka langkah awal yang harus ditempuh Adalah menyadarkan masyarakat agar tidak terjebak pada pragmatisme politik. Pertanyaannya, bagaimana jika hal itu sudah menjadi cultur masyarakat? Apakah bisa?
Maka dengan tegas saya katakan, sangat bisa dilakuka. Dengan syarat kita bersama-sama memiliki komitmen dan upaya untuk merubahnya, diawali dengan pendidikan politik warga.
(Pbg, 20 Maret 2023)
*Penulis adalah aktivis Ikatan Alumni PMII, Ketua GRANAT Purbalingga, Dan penggiat Literasi dan Pendamping Desa
Konten Kreator Desa