JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Borobudur dan Universitas Pertahanan (UNHAN) Bambang Soesatyo bersama Hakim Agung Kamar Pidana Prof. Surya Jaya, menjadi penguji proposal disertasi Ahmad Sahroni, mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Hukum Universitas Borobudur, yang menjabat Wakil Ketua Komisi III DPR RI sekaligus Bendahara Umum Partai Nasdem. Bamsoet sebagai penguji Internal, sedangkan Hakim Agung Kamar Pidana Prof. Surya Jaya sebagai Promotor. Proposal disertasi mengangkat tema tentang Pemberantasan Korupsi Melalui Prinsip Ultimum Remidium: Suatu Strategi Pengembalian Kerugian Keuangan Negara.
“Penelitian ini sangat menarik untuk diteliti lebih jauh. Dari tahap proposal sudah tergambarkan tentang pentingnya Indonesia meninggalkan hukum kolonial masa lalu, menuju hukum modern. Sehingga dapat mengubah mindset aparat penegak hukum (APH) khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dari pendekatan retributif (menghukum dengan ekspektasi menimbulkan deterent effect) ke pendekatan restoratif (pemulihan kerugian negara) dengan mengupayakan penyelesaian secara menyeluruh berdasarkan prinsip ultimum remedium dengan mengedepankan teori negara kesejahteraan, teori hukum dekonstruksi, dan teori hukum progresif,” ujar Bamsoet usai menguji proposal disertasi Ahmad Sahroni, di Universitas Borobudur, Jakarta, Sabtu (18/11/23).
Turut hadir antara lain, Co-Promotor Disertasi yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Borobudur Prof. Faisal Santiago, dan penguji internal Dr. Ahmad Redi.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, penerapan prinsip ultimum remedium pada pemberantasan korupsi dapat diartikan memberikan kesempatan penyidik untuk menerapkan prosedur hukum administrasi atau hukum perdata terlebih dahulu. Apabila kedua jalur tersebut dianggap tidak mampu mencapai tujuannya, maka hukum pidana dijadikan sebagai jalan terakhir.
“Karena itu, penelitian ini juga akan menekankan pentingnya pemahaman penyidik mengenai peraturan perundang-undangan administrasi terhadap tindak pidana yang diatur dalam berbagai UU sektoral. Misalnya, sesuai pasal 20 UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, jika ada temuan BPK yang mengindikasikan adanya kerugian negara karena masalah administrasi, maka diberikan waktu selama 60 hari kepada pihak tersebut untuk mengklarifikasi sekaligus mengembalikan kerugian negara, sehingga tidak serta merta langsung proses pidana,” jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Doktor Ilmu Hukum UNPAD dan Kepala Badan Polhukam KADIN Indonesia ini menerangkan, penerapan ultimum remedium bisa menjadi jalan keluar dalam pengembalian kerugian negara akibat korupsi. Berdasarkan data corruption perception index (indeks persepsi korupsi/IPK) untuk tahun 2022, Indonesia memperoleh skor 34 dengan peringkat 110 dari 180 negara.
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan, pada tahun 2022 saja, setidaknya terdapat 1.218 perkara korupsi baik yang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung, dengan total 1.298 terdakwa. Akibat tindak pidana korupsi itu, ICW juga melaporkan kerugian negara mencapai Rp 56,7 triliun dan nilai suap mencapai Rp 322,2 miliar.
“Dari total tersebut, pidana tambahan uang pengganti yang asumsinya bisa jadi salah satu celah mengembalikan kerugian negara, hanya dikenakan sekitar Rp 19,6 Triliun terhadap 1.298 terdakwa,” pungkas Bamsoet. (*)
Jurnalis Independent Politic News