JAKARTA– Dalam konfigurasi ketatanegaraan kita, ada 3 bidang tugas ketatanegaraan yang harus ada sesuai amanat konstitusi yaitu Bidang Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Dan ketiga bidang itu menjadi persyaratan utama dalam pembentukan sebuah Negara demokratis suatu bangsa.
Terkait dengan pembatasan masa jabatan dari ketiga bidang itu, dua bidang yaitu, Eksekutif ( dari Presiden, Gubernur, Bupati/wali kota dan Kepala Desa ) serta bidang Yudikatif ( kelembagaan kehakiman dan kejaksaan serta institusi penegak hukum lainnya ) pergantian kepemimpinan sudah dilakukan secara taat azas sesuai aturan perundang-undangan.
Presiden, Gubernur, Bupati/Wali kota dan Kepala Desa, keterpilihannya dibatasi hanya untuk 2 periode. Tapi bila kita amati, keberadaan DPR/MPR sebagai lembaga legislatif ( yang salah satu fungsinya membuat Undang-Undang) sepertinya tidak ada undang-undang yang mengatur pembatasan masa jabatan mereka.
Coba bayangkan, ada anggota DPR/MPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang masih bercokol di kursi kedewanannya dari awal Reformasi sampai detik ini.
Di zaman rezim otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto saja masih diatur mekanisme pembatasan masa jabatan DPR/DPRD terutama di jajaran Kepengurusan Golkar.
Apalagi Golkar sebagai Partai Penguasa, Presiden Soeharto selaku ketua Dewan Pembina Golkar secara ketat mengaturnya.
Golkar dengan kriteria PDLT (Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tercelah) menilai setiap anggota DPR dari Golkar. Dengan kriteria PDLT, kader Golkar di DPR dinilai. Bila seorang anggota DPR tidak memenuhi salah satu syarat dalam PDLT, maka kader tersebut tidak dicalonkan lagi oleh Golkar pada Pemilu berikutnya.
Bila kader tersebut memenuhi syarat PDLT, maka kader tersebut masih diberi kesempatan untuk maju kembali dalam Pemilu berikutnya. Selesai masa Jabatan selama 2 periode, kader tersebut bila masih memenuhi syarat PDLT, kader itu masih boleh dicalonkan dalam posisi Nomor papan bawah dengan fungsi sebagai “Vote Getter” (alias pengumpul suara ). Itu pengalaman dimasa lalu.
Di era reformasi yang kebablasan ini, boleh dikata tidak ada kesadaran Partai melalui anggota-anggota DPR untuk menginisiasi pembuatan UU yang membatasi masa jabatan DPR/DPRD/DPD.
Melalui sistim Pemilu Proporsional terbuka ini semua diserahkan pada mekanisme pasar yang mengaturnya. Partai begitu pragmatis melakukan rekruitmen kader. Asal si calon kader yang punya dana, punya kekuasaan dalam masyarakat direkrut.
Partai tidak mau bersusah payah mendidik kadernya untuk jadi kader-kader bangsa yang berkualitas. Pragmatisme Partai ini, yang akhirnya menumbuhkan pragmatisme dalam masyarakat. Politik uang yang terjadi di semua lini dan tingkatan, tidak lepas dari peran Partai dalam mendidik masyarakat.
Pembatasan masa jabatan anggota DPR/DPRD dan DPD untuk 2 periode merupakan sebuah kebutuhan. Pembatasan masa jabatan DPR/DPRD/DPD, berdampak positif terhadap proses regenerasi kepemimpinan politik di setiap lini dan tingkatan.
Kita tentu tidak menghendaki hanya melihat wajah yang itu dan itu dalam setiap perhelatan hajatan Pemilu. Kita butuh wajah-wajah baru yang muda, cerdas dan berintegritas.
Untuk mengatasi persoalan Pembatasan masa jabatan DPR/DPRD, untuk kebutuhan Pemilu 2024 nanti tentu tidak mungkin DPR dan Pemerintah akan membuat UU-nya saat ini. Waktu tidak cukup bagi DPR dan Pemerintah untuk mengerjakan agenda itu.
Maka untuk mengatasi soal itu terpulang kepada Pemimpin masing-masing Partai Politik Peserta Pemilu untuk membuat keputusan internal Partai. Dan untuk keperluan itu, dibutuhkan kekuatan masyarakat sipil untuk melakukan gerakan penyadaran pada masyarakat akan pentingnya regenerasi kepemimpinan politik di semua lini dan tingkatan.
Misalnya dengan mengkampanyekan ide untuk tidak memilih kandidat DPR/DPRD yang bercokol lebih dari 3 periode. Tanpa kesadaran Partai untuk melakukan terobosan tentang soal itu, kondisi perpolitikan tidak akan berubah kearah yang lebih baik.
Harapan akan regenerasi kepemimpinan hanya sebuah impian hampa. Apapun sistim Pemilu yang dibuat, mau itu sistim Proporsional terbuka atau tertutup tidak akan merubah wajah politik Indonesia yang lebih baik.
Malah yang ada oligarki semakin menguat di bidang politik dan ekonomi. Tinggal masyarakat yang melihat dengan menggigit jari, tanpa berbuat banyak. Semoga.
**Penulis merupakan pemerhati sosial dan politik, sekarang berdomisili di Jakarta
Jurnalis Independent Politic News