REFLEKSI HARI TANI NASIONAL:
Konsistensi dan Relevansi UUPA
di Masyarakat dan Polemik
UU Minerba Yang Mencekik.
Oleh: Muhammad Isya Gasko
——————————————————————————
Foto: Muhammad Isya Gasko
Hari Tani Nasional bukan saja euforia yang merebak tiap tahun untuk dikampanyekan. Hal ini merupakan suatu momentum besar bagi kaum Tani di seluruh pelosok negeri ini. Yang mana momentum besar ini tidak terbentuk begitu saja tanpa adanya sejarah revolusi dari jutaan rakyat Indonesia untuk mendesak dijalankannya reforma agraria sejati. Atas dasar itulah presiden Soekarno mencetuskan produk hukumnya, yakni UU Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960 sebagai jawaban dari gigihnya perjuangan rakyat saat itu. Namun, hingga saat ini UUPA tersebut tidak mengalami revisi seperti UU lainnya, bahkan terkesan seperti tulisan/dokumen biasa. Padahal, kita ketahui bersama bahwa dalam situasi saat ini marak terjadi konflik agraria ditengah kesengsaraan masyarakat akibat pandemi covid-19 yang merajalela. Terlebih konflik mengenai hak ulayat masyarakat adat yang masih menjadi polemik dan UU Minerba yang cenderung memberikan keuntungan bagi golongan-golongan tertentu yang jumlahnya minoritas yaitu keluarga borjuis oligarki dan mengorbankan kepentingan mayoritas yaitu kaum proletariat dan petani.
Dewasa ini Mineral dan batubara merupakan salah satu potensi sumber daya alam Indonesia. Yang pastinya kita semua mengharapkan agar sumber daya alam tersebut dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Namun apakah kesejahteraan rakyat yang dimaksudkan adalah sosialisme Indonesia? Atau Justru berubah menjadi fasisme? Lalu bagaimana strategi untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945? Untuk menuju hal itu, saya pikir sangat diperlukan kebijakan pertambangan yang berpihak kepada kepentingan ekonomi kerakyatan. Pengalaman Indonesia selama Orde Baru hingga hari ini, menunjukan kebijakan pertambangan lebih berpihak pada kepentingan modal asing melalui mekanisme kontrak karya yang menempatkan negara sebagai pihak yang inferior.
Untuk sekarang ini, saya melihat bahwa hak menguasai negara memang telah nampak sejak diberlakukannya UU No.4 Tahun 2009, hak menguasai negara tersebut tampak melalui sistem perizinan. Selain itu peran modal nasional di sektor pertambangan juga dibangkitkan melalui mekanisme divestasi. Namun, terjadi degradasi untuk hak menguasai negara yang semula untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, malah cenderung lebih menguntungkan kepentingan negara dan borjuasi juga oligarki dan mengkerdilkan kepentingan daerah yang dieksploitasi. Hal ini terlihat pada sistem perekonomian bangsa yang cenderung menggunakan teori Hedonisme Utilitarian. Yang mana, sistem distribusi lebih menitikberatkan pada kepentingan sektoral dibandingkan kepentingan mayoritas. Terlebih lagi masalah mengenai konflik agraria yang marak terjadi hari ini, benar-benar memukul masyarakat ke level perbudakan kolonialisme.
Untuk mengatasi hal itu, maka UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria harus segera direvisi. Sebab, UU yang dibuat hampir 50 tahun tersebut sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan perkembangan masyarakat sat ini. Terlebih pada kaum tani yang mayoritas miskin dan berada di pedesaan yang harus benar-benar diberdayakan. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila didukung peraturan yang baik. Kita tahu bahwa, reformasi Agraria yang dijalankan Indonesia telah mengalami kemandekan sehingga tidak mampu menaikkan harkat dan martabat petani. Karena itu negara perlu segera menuntaskan reformasi Agraria yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat, terutama kaum tani. Hal ini juga menjadi langkah strategis untuk mengantisipasi sekaligus memberi solusi atas berbagai konflik sosial yang terjadi secara terus menerus belakangan ini.
Dari segi korelasi antara UUPA dan UUD 1945 mungkin tidak bertentangan. Namun bagaimana dengan konsistensi dan relevansinya di msayarakat saat ini? Apalagi setelah disahkannya UU Minerba, rakyat yang yang dianggap sebagai kepentingan umum malah berakhir di tenda-tenda pengungsian sembari mengharapkan uluran tangan dari pemerintah yang merupakan aktor utama dari kesengsaraan masyarakat. Sekarang ini, dapat kita saksikan maraknya konflik horisontal antara petani dan pihak lainnya, ketidakjelasan regulasi lahan tanah yang kurang responsif dan berpihak pada kepentingan petani, kurang optimalnya pemetaan fungsi lahan tanah secara jelas, baik untuk pertanian, kehutanan dan pertambangan, Hingga kurang optimalnya fungsi sosial tanah, baik untuk pengembangan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Air dan Sumber Daya Manusia.
Sebagai contoh saya pikir masalah yang tengah dihadapi oleh Desa Sabuai dan Marafenfen di Maluku, juga beberapa daerah lainnya di Indonesia, merupakan salahsatu bentuk tidak relevansi dan konsitensinya UUPA di masyarakat. Oleh karena itu, saya berharap dengan adanya opini refsleksi yang saya bangun di Hari Tani Nasional ini, Negara dapat menyelesaikan berbagai persoalan pelik di masyarakat seperti konflik horisontal dan kekerasan sosial sekaligus dapat memberdayakan rakyat petani itu sendiri.