Oleh : Sirra Prayuna ( Advokat) Waketum Front Kebangsaan.
Presiden Jokowi dalam sambutan perayaan hari ulang tahun HUT ke-59 Partai Golkar, 6 November 2023, mengatakan;
“Yang saya lihat akhir-akhir ini adalah terlalu banyak dramanya, terlalu banyak sinetronnya, sinetron yang kita lihat,”
“Mestinya kan pertarungan gagasan, pertarungan ide, bukan pertarungan perasaan. Kalau yang terjadi pertarungan perasaan repot semua kita,” .
Diawal dengan mengutif pidato Presiden Jokowi. Pernyataan Presiden sebuah ungkapan seperti pribahasa “menepuk air didulang terpercik dimuka sendiri”
Pernyataan Presiden adalah kalimat yang merefleksikan sebuah keresahan tehadap gonjang ganjing situasi politik menjelang pemilu 2024.
Pernyataan tersebut sesungguhnya diarahkan untuk siapa?. Tentunya publik akan menduga bahwa di arakah kepada PDI Perjuangan, karena PDI Perjuangan dengan tegas telah menarik garis demarkasi, “Yang dulunya kawan, sekarang menjadi lawan”.
Gestur Presiden dalam pidatonya adalah gestur kegalauan, kekecewaan dan kemarahan. Jika kita telisik, bukankah gonjang ganjing bangsa ini lahir dari adanya persekongkolan lingkaran istana.
Publik akan selalu ingat dan tak bisa melupakanya. Presiden acap kali mengumbar pernyataan diberbagai kesempatan, seperti terkait soal cawe cawe, Presiden mengatakan “tidak ikut cawe cawe dalam urusan pilpres, bukan urusan saya, tetapi urusan partai politik atau gabungan partai politik. Demikian halnya degan sang putra mahkota. Saat ditanya awak media, wacana Gibran yang kencang akan maju sebagai cawapres, jawabanya presiden, “yang benar saja, baru dua tahun jadi walikota, ngga logik.
Pernyataan tersebut sebuah gambaran awal keresahan gonjang ganjing politik menjelang pemilu karena diciptakannya sendiri. Jadi keresahan tersebut adapah keresahan dirinya sendiri dan bukan merupakan keresahan yang mempresentasikan perasaan anak bangsa rakyat Indonesia. Keresahan pergulatan bathinya yang tidak menduga akan reaksi kemarahan rakyat atas prilaku politiknya yang anti demokrasi, menginjak-injak Konstitusi, merusak bagunan sistem bernegara serta merontokkan Mahkamah Konstitusi sebagai benteng penjaga Konstitusi.
Ungkapan, mengedepankan pertarungan gagasan oleh Presiden, justru, dinamika diskursus ide dan gahasan tidak kita temukan. Pertarungan gagasan kebangsaan semestinya dilandasi oleh moral dan etika serta hukum yang adil berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Bukankah pergulatan ide dan gagasan kebangsaan yang paling mendasar berada di dalam Konstitusi kita. Tak perlu jauh jauh mencarinya, karena Konstitusi adalah suatu norma yang merumuskan arah dan haluan bernegara bangsa, mengatur kelembagaan dan kekuasaan Presiden, mengatur tentang demokrasi dan nilai nilai sistem hukum bernegara yang adil. Jika fundamental normanya tidak dipedomani, bagaimana mau berdialektika kebangsaan yang sehat dan demokratis serta taat asas berlandaskan morel dan etika.
Presiden hanya pandai mengurai kata- kata, akan tapi tidak cakap dalam mewujudkan kata -kata dalam suatu perbuatan.
Kebenaran tidak dapat dimonopoli kekuasaan, karena sumber kebenaran paling otentik dan hakiki adalah kebenaran yang lahir dari suara rakyat.
Presidan lupa atau sengaja melupakan sebuah pepatah “menepuk air didulang, terpercik dimuka sendiri.