Foto dari sumber https://katadata.co.id/aryowidhywicaksono/berita/63b2cb0268994/pengamat-pemilu-proporsional-tertutup-bukti-kegagalan-partai-politik
Tahun politik 2024 yang sedang dihelat oleh bangsa Indonesia untuk menentukan arah pembangunan selama 5 tahun kedepan 2024 – 2029 nanti, mengundang banyak perhatian dari berbagai pihak dan lapisan masyarakat. Bagaimana tidak, sebuah kondisi yang memaksa kita untuk memperhatikan sesuatu yang sebelumnya tidak terjadi, dengan adanya momen ini menjadi terjadi.
Momen kompetisi untuk menarik simpati masyarakat agar mendukung, baik partai maupun personal, dari tingkat kabupaten hingga kepemimpinan presiden, dengan berbagai gaya dan model dipertontokan diatas panggung politik. Hal ini memunculkan beragam komentar, ada yang kocak, konyol dan menggelikan, juga ada yang mengiris hati dan membuat bulu kuduk merinding melihatnya bahkan sampai yang menyayat perasaan.
Segala upaya dikeluarkan yang seharusnya jauh sebelum hajatan digelar sudah dilakukan demi meraih dukungan masyarakat. Perilaku ini menacak-acak nilai demokrasi, pemilu hanya alat merebuat kekuasaan demi menyalurkan libido keserakahan yang mengatasnamakan rakyat, menjadikan posisi rakyat hanya objek dari aktor politik.
Namun tidak sedikit pula ada politikus yang dengan sepenuh hati memperhatikan, merawat dan membantu permasalahan warga sekitar dengan tulus. Dalam aktivitas kesehari-hariannya hadir ditengah-tengah warga, menyapa, bercengkerama dan tak jarang langsung turun tangan mengatasi problematika yang dihadapi warga, meski yang dilakukannya bukan ditahun politik. Warga mengenalnya dengan hangat dan baik, karena dari kebaikan yang sudah ditanam jauh hari, bahkan bertahun-tahun dia ada untuk warga. Hal tersebut dilakukan karena dirinya mengenal betul bahwa dirinya bukan hanya untuk dirinya dan keluarganya, tapi dirinya untuk masyarakat luas, makhluk sosial.
Makhluk sosial yang peduli atas lingkungan sosialnya, yang memperhatikan keluh kesah sekitarnya dan merasakan betul apa yang dirasakan oleh manusia lain atas perjalanan hidup mereka. Sejatinya menebar kebaikan tidak menunggu waktu, baik kampanye atau pun jadi calon legislative atau tidak, kebaikan tetap terus dilakukan, sehingga sosoknya menjadi kharismatik bagi masyarakat luas. Itulah sebaik-baiknya manusia adalah berguna bagi manusia lainnya.
Dengan begitu keterkenalan dirinya tidak lagi membutuhkan pajangan spanduk lebar dan besar untuk dipajang di setiap sudut kota, tidak perlu lagi blasting media untuk memberitakan kebaikan-kebaikan dirinya, untuk pencitraan. Tidak perlu gonta-ganti kendaraan politik (partai), karena figurnya sudah kondang melebihi daripada partai yang mengusungnya, dan yang paling penting low political cost. Hal itu terjadi, karena dia merasa warga adalah bagian dari dirinya yang selalu ada dihatinya, dan begitu sebaliknya.
Lucunya, ditahun politik ini, banyak orang yang menjadi manusia sosial jadi-jadian, tidak kenal dan paham dengan karakter demografi basis daerah pemilihannya, sok-sokan menyapa masyarakat padahal kebiasaan sebelumnya dia mutlak sebagai makhluk individu. Tiba-tiba hadir dalam pengajian, ikut kerja bakti, bagi-bagi uang dan sembako dengan tampilan necis dan klimis, mirip layaknya orang mau kondangan. Konyol dan kocak.
Sikap dan perilaku musiman seperti itu mempermainkan nilai-nilai demokrasi, meletakkan kedaulatan rakyat pada sebuah kantong yang berisi, beras 3kg, seliter minyak goreng, 1kg gula, beberapa lembar uang 50 ribuan dan stiker foto caleg tersebut. Harga diri dari rakyat tidak serendah kantong kresek 5 kiloan, besar perjuangan pahlawan membuat bangsa ini merdeka dari penjajahan.
Marilah jadikan pemilu yang inklusif dan damai, jadilah calon legislatif yang benar, ketuk dan rasakan hati nuraninya agar mereka percaya bahwa caleg bukan tuan bagi rakyat melainkan pelayan dari tuannya, rakyat. (AK3)