PoliticNews.ID – Padang Pariaman : Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini sedang diuji. Penangkapan terhadap terduga teroris oleh Densus 88 beberapa waktu belakangan menjadi barometer bahwa radikalisme dan terorisme itu memang ada.
Bela Negara bukan hanya tanggung jawab aparat dan pemerintah saja, tapi merupakan tanggung jawab bersama untuk berbuat sesuatu sesuai dengan bidang masing-masing.
Jumlah penganut faham radikal dan teroris itu sedikit, namun miliki pengaruh cukup besar dalam kehidupan masyarakat. Ini terjadi karena jumlah yang banyak tidak berbuat melakukan perlawanan. Ada pembiaran, sehingga akhirnya akan membuat kewalahan masyarakat itu sendiri.
Virus radikalisme jika dibiarkan akan menghancurkan sebuah negara. Di Suriah, hanya 5% yang berfaham radikal, negara hancur. Di Libya, 10% yang terpapar radikalisme, negaranya hancur.
Hal di atas terungkap dalam acara Webinar Series “Psikologi Kebencanaaan, Krisis, Pemberdayaan Masyarakat dan Perdamaian,” dengan topik “Telisik NII, Radikalisme, dan Terorisme” pada Sabtu, 13 November 2021 mulai sejak pukul 10.00-12.00 WIB.
Acara yang diselenggarkan oleh Fakultas Psikologi UGM – Universitas Gajah Mada ini menghadirkan narasumber tunggal yakni Ken Setiawan – Pendiri NII Crisis Center. Moderator Haiyun Nisa, S.Psi., M.Psi., Psikolog – Mahasiswa Program Doktor Ilmu Psikologi UGM. Rafialdo Arifian sebagai MC.
Dalam keynote speechnya, Prof. Drs. Koentjoro Soeparno, MBSc. PhD., Psikolog Fakultas Psikologi UGM menyampaikan pesan, “Terorisme bagian dari kebencaan, bencana sosial dan krisis kemasyarakatan. Sekarang, bagaimana masyarakat dapat diberdayakan untuk bersama melawan intoleransi, radikalisme dan terorisme guna mencapai perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.”
“Ada 3 kemungkinan capaian dari orang-orang yang selalu bergerak merongrong persatuan seperti radikalisme dan teroris, yakni: 1) tidak terpengaruh, 2) Terpengaruh, dan 3) Terpengaruh, tapi bingung. Nah, disini sebenarnya sudah ada 2 orang yang terpengaruh. Untuk hal inilah, kita adakan acara ini agar tidak terpengaruh pemikiran/ faham radikal dan terorisme,” Koentjoro Soeparno mengakhiri.
Ken Setiawan memaparkan, “Kenapa masyarakat masih bisa terpapar oleh faham radikalisme? Justru yang terpapar radikalisme adalah mereka yang disebut berpendidikan bahkan sampai S2 di beberapa perguruan tinggi.”
Terorisme berawal dari sikap intoleran. Intoleran menimbulkan sikap radikal. Organisasi teroris sampai saat masih berjalan dengan cara-cara yang membaur dengan masyarakat. Penggalangan dana melalui kotak-kotak amal.
Kemudian Ken melanjutkan, “ Ciri-ciri mereka yang terpapar radikal terorisme seperti: ibadah rajin tapi tidak punya akhlak, hidup di 2 dunia yang beda, anti budaya tradisional, frontal terhadap pemerintah atau nyinyir terhadap pemerintah.”
“Kondisi hari ini, kita sakit tapi tidak merasa sakit. Pancasila sakit, tapi kita merasa tidak sakit seolah tidak terjadi apa-apa dengan Pancasila. NKRI terancam, tapi kita tidak merasa terancam,” pungkas Ken Setiawan.
Penggiat Desa. Lakukan yang Perlu saja (Prioritas).
Kita Gak perlu memenangkan semua Pertempuran.
Tinggal di Padang Pariaman, Sumatera Barat.