PADANG- Sebagai daerah yang memiliki potensi bencana tinggi, Pemprov Sumbar terus fokuskan perhatiannya untuk optimalisasi mitigasi dan minimalisir dampak. Menurut Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah, hal tersebut dilakukan untuk membuat Sumbar menjadi lebih sadar dan tangguh bencana.
“Kapan bencana itu akan terjadi, kita tidak bisa prediksi, kita hanya bisa berupaya untuk mengurangi resikonya. Untuk itu, masyarakat perlu terus kita beri pemahaman,” sebut Gubernur Sumbar, Mahyeldi Ansharullah di Padang, Kamis (11/9/2024).
Dikatakannya, menghadapi bencana masyarakat tidak boleh panik. Tapi tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Langkah itu guna mengurangi risiko korban, baik korban jiwa maupun korban materil.
Apalagi beberapa waktu belakangan, pemberitaan potensi gempa dan tsunami akibat megathrust Mentawai di Siberut Utara, marak di media. Sebenarnya menurut Gubernur, informasi itu sudah dipublikasikan sejak lama.
Diharapkan masyarakat tidak belebihan dalam menyikapi potensi gempa tersebut dan fokus untuk meningkatkan kesiapsiagaan. Sebab sampai saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu memprediksi kapan terjadinya gempa berpotensi tsunami tersebut.
Selain itu, potensi bencana yang mengancam wilayah Sumatera Barat, tak hanya gempa dan tsunami. Sebab segala jenis bencana berpotensi ada di daerah ini, karena Sumbar ibaratnya etalase bencana.
Dari pemetaan yang dilakukan BPBD Sumbar sejak tahun 2014-2022, sedikitnya terjadi 6.274 bencana di seluruh kabupaten/kota. Jika dirinci, maka ada 6 jenis bencana yang sering terjadi dan berulang, yaitu angin kencang, longsor, banjir, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), banjir bandang dan abrasi pantai.
“Bencana yang terjadi pada setiap kabupaten/kota itu skalanya berbeda sesuai dengan kondisi geografis daerah. Untuk itu, setiap daerah harus memiliki peta bencana sehingga masing-masing daerah dapat lebih fokus pada mitigasi sesuai potensi bencana yang kerap terjadi di daerahnya,” kata Mahyeldi.
Menyadari hal tersebut dan untuk mengurangi dampak bencana baik berupa kerugian harta benda dan juga keselamatan diri, maka kesiapsiagaan masyarakat harus terus ditingkatkan dan mitigasi bencana perlu diperkuat. Pemprov melalui BPBD Sumbar rutin melakukan simulasi bencana, mempersiapkan Early Warning System (EWS) termasuk EWS inklusi yang mengakomodir masyarakat penyandang disabilitas, ketersediaan Tempat Evakuasi Sementara (TES), jalur evakuasi dan sejumlah program lainnya.
“Di sekolah ada namanya Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), yang tujuannya untuk membangun budaya siaga dan aman di sekolah. Seluruh stakeholder di sekolah diberikan pelatihan tentang kebencanaan. Ada Kelompok Siaga Bencana (KSB) dan Desa Tangguh Bencana (Destana) di tingkat nagai/kelurahan. Tujuan akhirnya adalah menuju Sumbar Tangguh Bencana,” terang Gubernur Mahyeldi.
Kalaksa BPBD Sumbar, Rudy Rinaldy lebih jauh menjelaskan, gempa megathrust Mentawai saat ini bisa diiibaratkan energinya masih terkunci. Untuk itu, BPBD Sumbar terus mematangkan langkah kesiapsiagaan dan mitigasi menghadapi ancaman tersebut.
Selain itu, 7 kabupaten/kota yang berada di pesisir pantai Samudera Hindia, hendaknya dapat meningkatkan kerjasama dengan seluruh stakeholder kebencanaan untuk mitigasi bencana.
Upaya kesiapsiagaan dan mitigasi yang telah dilakukan di antaranya menyediakan selter atau Tempat Evakuasi Sementara (TES) di sepanjang wilayah pesisir. Saat ini sedikitnya tersedia 62 selter tersebar di pesisir Sumbar.
Selter itu berada di bagian atas bangunan yang ditetapkan, seperti masjid, sekolah, hotel dan perkantoran. Selter yang telah ada hendaknya dikelola dengan baik dan dipelihara serta dirawat agar terjaga kebersihannya.
“Pembangunan sekolah di daerah rawan bencana harus dilengkapi dengan selter di bagian atas bangunan sebagai lokasi evakuasi saat terjadi gempa berpotensi tsunami. Selain sekolah, beberapa hotel, mesjid dan gedung perkantoran di Kota Padang juga dilengkapi dengan selter,” jelas Rudy.
BPBD Sumbar juga memasang 42 unit Early Waring Systen (EWS) pada 6 kabupaten/kota di pesisir kecuali Mentawai. Untuk Mentawai, Langkah mitigasi dilakukan dengan menerapkan kearifan lokal, seperti mengajak masyarakat evakuasi ke dataran tinggi jika terjadi gempa. Lalu 9 di antara 42 EWS itu adalah EWS inklusi sebagai pedoman bagi masyarakat penyandang disabilitas.
“Ke depan, kita tengah mempersiapkan pengadaan 300 EWS termasuk EWS inklusi yang akan di pasang pada seluruh kabupaten/kota,” katanya.
Selanjutnya, pembuatan garis biru batas aman tsunami (Tsunami Safe Zone) pada sejumlah ruas jalan di daerah rawan gempa berpotensi tsunami. Kota Padang sudah memiliki garis biru ini pada beberapa titik sebagai tanda bagi masyarakat untuk tidak perlu evakuasi lebih jauh bila telah berada pada zona yang termasuk garis biru ini.
Dan tak kalah pentingnya adalah simulasi bencana gempa dan tsunami. Masyarakat harus menyiapkan diri menghadapi bencana, termasuk pengetahuan terkait kebencanaan juga peralatan kegawatdaruratan. Simulasi harus dilakukan berulang-ulang agar saat terjadi bencana, risiko dapat diminimalisir karena masyarakat sudah paham yang harus dilakukannya.
“Latihan atau simulasi bencana ini bukan hanya latihan sekali seumur hidup, tapi harus menjadi budaya dan pelajaran seumur hidup. Karena kita semua tahu, Sumbar adalah daerah rawan bencana, semua jenis bencana ada di Sumbar. Khusus gempa, kita tidak bisa memprediksi kapan terjadinya,” jelas Rudy.
Jadi, menyikapi isu potensi megathrust itu, sebaiknya fokus pada upaya meningkatkan kesiapsiagaan mulai dari tingkat keluarga, memastikan rencana evakuasi mandiri, jalur evakuasi, memelihara selter dan melatih kembali komunikasi risiko berbasis komunitas.
Selanjutnya, menyikapi bencana diluar gempa dan tsunami, menurut Rudy, pihaknya meminta seluruh BPBD kabupaten/kota untuk menyiapkan mitigasi bencana sesuai dengan profil bencana masing-masing daerah. Selain itu, pihaknya mendorong dilakukan sosialisasi dan gladi kesiapsiagaan dan mempedomani merefer info dari BMKG tentang perubahan cuaca dan info cuaca ekstrim.
Desa Tangguh Bencana Untuk program Desa Tangguh Bencana (Destana), perwakilan 12 nagari yang ditunjuk sudah selesai mengikuti pelatihan masing-masing 6 nagari di Pesisir Selatan yaitu, Nagari Painan Selatan, Ampang Pulai, Taratak, Air Haji Barat, Kambang Barat dan Ampiang Parak, serta 6 nagari di Padang Pariaman yaitu Nagari Kuranji Hilir, Katapiang, Malai V Suku, Manggopoh, Ulakan dan Nagari Pilubang.
Masing-masing nagari mendapatkan sertifikat pelatihan yang didalamnya mencantumkan 6 komponen tentang tingkat ketangguhan suatu nagari, yaitu layanan dasar, peraturan dan kebijakan penanggulangan bencana, pencegahan dan mitigasi bencana, kesiapsiagaan darurat dan kesiapsiagaan pemulihan. Sebelum pelatihan, ketika diuji, tingkat ketangguhannya terbilang rendah. Namun setelah pelatihan, terjadi peningkatan ketangguhan yang mencapai tingkat utama.
“Alhamdulullah. Setelah mengikuti pelatihan terjadi peningkatan terhadap komponen tingkat ketangguhan suatu nagari. Kita berharap, ilmu yang diperoleh dapat ditularkan kepada masyarakat nagari serta nagari-nagari tetangga yang juga memiliki risiko tinggi ancaman bencana,” ujar Rudy Rinaldy.
Desa Tangguh Bencana (Destana) adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan.
Dalam hal ini, masyarakat nagari/kelurahan adalah pelaku utama dalam upaya penanggulangan bencana, dan sekaligus menjadi kelompok pertama yang menerima dampak bencana. Oleh karena itu, penguatan kapasitas masyarakat di nagari/kelurahan adalah upaya strategis untuk mewujudkan “Sumbar Tangguh Bencana”.
“Ini bagian dari upaya kita memperkuat mitigasi bencana. Jika mitigasi kita bagus, maka dampak bencana bisa diminimalisir,” terang Rudy Rinaldy. (adpsb/h)