Entang Sastraatmadja
“Ada pengakuan dari para petani dan pemilik lahan, bahwa perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), mampu membuat petani di desa ini naik kelas. Saya hargai hal itu,”. Inilah yang disampaikan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Tohir, seusai bertemu dengan para petani di Subang, Jawa Barat, seperti yang dikutip detik,com.
Mereka mendapat bimbingan, mulai dari pupuk dan pengolahan sawah sehingga mampu menaikkan produktivitas dan keuntungan petani. Nada optimis untuk memakmurkan petani tentu bisa terjadi, jika para petani di lapangan terus didampingi, difasilitasi, dan didukung ilmu pengetahuan serta teknologi nutrisi pertanian modern.
Untuk itu, diperlukan pendekatan holistik guna mencari solusi pertanian demi meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani Indonesia. Hal itu dikarenakan jumlah areal persawahan di Indonesia meningkat dalam satu tahun terakhir, namun hasil panennya mengalami penurunan.
Inilah yang butuh perenungan kita bersama. Data Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri menyebutkan, pada 2021 total luas lahan pertanian mencapai 25,1 juta hektare, naik dari tahun sebelumnya 24,1 juta hektare. Namun, jumlah lahan panen menurun dari 10,68 juta hektare pada 2020, menjadi 10,66 juta hektare pada 2021.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makmur berarti serba kecukupan, tidak kekurangan. Makmur dapat juga diartikan sebagai keadaan yang mencukupi kebutuhan dasar dan dengan keadaan itu kita merasa puas. Indonesia makmur arti nya Indonesia yang masyarakatnya berkecukupan dan mempunyai kepuasan dengan tingkat hidupnya. Petani makmur arti nya petani yang mampu merasakan nikmat nya pembangunan.
Bagi Keluarga Besar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia atau HKTI sendiri, istilah Tani Makmur, bukanlah hal yang asing lagi. Jauh hari sebelum Menteri BUMN bicara soal memakmurkan petani, para aktivis petani yang bernaung di bawah bendeta HKTI sudah berteriak lantang tentang perlu nya petani hidup makmur. Tani Makmur adalah yel-yel yang biasa digunakan dalam setiap rapat atau pertemuan sebagai penyemangat sukses nya kegiatan tersebut.
Jika seseorang meneriakan kata Tani, maka audien akan menyambut nya dengan teriakan Makmur. Tani……Makmur……… Tani……..Makmur………. Tani…….Makmur…….. Biasa nya yel-yel ini diucapkan tiga kali dengan nada cukup tinggi disertai dengan kepalan tangan. Keluarga Besar HKTI meyakini bahwa suatu waktu petani Indonesia bakalan mampu hidup bahagia. Tinggal sekarang, bagaimana mewujudkan semangat ini agar tampil menjadi sebuah kenyataan.
Tani Makmur terdiri dari dua kata yaitu Tani dan Makmur. Tani jelas berkaitan dengan kiprah atau profesi seseorang sedangkan Makmur, jelas akan berhubungan dengan suasana kehidupan seseorang. Petani adalah bagian dari anak bangsa yang menyambung nyawa kehidupan nya dari bertani, sedangkan Makmur adalah kondisi kehidupan seseorang yang telah mampu memenuhi kebutuhan hidup nya dengan baik.
Dalam bahasa yang sederhana, Tani Makmur adalah stigma yang melekat kuat dalam kehidupan anak bangsa, dimana kebutuhan lahir bathin nya telah tercukupi sehingga pantas disebut sebagai “penikmat pembangunan”. Inilah kondisi yang harus dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata di lapangan. Sebaik nya kita jangan lagi menjebakan diri dalam gaya hidup yang sifat nya karikatif. Petani butuh bukti dan sudah bodan dengan janji-janji gombal.
Lalu bagaimana dengan fakta kehidupan yang sedang terjadi saat ini ? Benarkah mereka yang berprofesi sebagai petani telah hidup layak ? Betulkah sebagian besar dari kaum tani di negeri ini telah mampu membebaskan diri dari suasana hidup miskin, melarat dan sengsara ? Bahkan penting juga dipertanyakan apakah para petani di tanah merdeka ini sudah pantas divonis selaku anak bangsa yang kondisi kehidupan nya telah makmur ? Inilah serangkaian persoalan mendasar yang memerlukan jawaban cerdas.
Bagi sebagian besar petani di negara kita, khusus nya mereka yang beratributkan petani gurem (memiliki lahan sawah rata-rata 0,25 Ha) dan petani buruh (sama sekali tidak memiliki lahan sawah), yang nama nya Makmur, barulah sebatas angan-angan. Hidup Makmur belum terasa dalam kehidupan nya.
Yang terjadi justru kebalikan nya. Mereka hidup dalam lilitan kemiskinan yang tak berujung pangkal. Mereka di dera kesengsaraan yang tak berkesudahan. Lebih parah nya lagi, mereka pun terekam terjebak dalam kubangan lumpur kesengsaraan. Ragnar Nurske menyebut sebagai lingkaran setan kemiskinan yang tidak berujung pangkal.
Atas fenomena yang demikian, memakmurkan petani di negeri ini, tidaklah cukup hanya dijadikan bahan pidato apalagi kalau cuma sekedar basa-basi ketika para pejabat bertemu dengan petani. Yang dibutuhkan petani saat ini adalah negara atau Pemerintah itu, benar-benar dapat hadir di tengah-tengah kesusahan para petani.
Sebut saja soal produksi cabai yang berlimpah dan menyebabkan harga jual di tingkat petani jadi melorot. Petani di Kabupaten Majalengka, Jawa Barat belum lama ini mengeluhkan rendahnya harga jual cabai merah keriting. Akibatnyaķ sebagian besar petani memilih untuk menelantarkan lahan hingga membakar tanaman cabai.
Seperti yang dilakukan sejumlah petani di Desa Argalingga, Kecamatan Argapura, misal nya. Para petani cabai disini terpaksa tidak memanen tanaman cabai yang sudah mulai memerah hingga membusuk. Selain itu ada juga yang membakar tanaman dan buah cabai sebagai bentuk kekecewaan terhadap harga cabai yang membuat para petani ini merugi.
Langkah Ini ditempuh sebagai bentuk kekecewaan petani cabai karena harga cabai sangat anjlok. Kalaupun dipanen tetap merugi jadi pilih dibakar aja lebih baik. Ini cabai merah keriting,”. Harga cabai merah keriting di kalangan petani saat ini hanya berkisar Rp 6 ribu per kilogram. Padahal, harga cabai normal, seharusnya dijual kisaran Rp 14 ribu.
Masalah nya menjadi semakin mengenaskan, ketika muncul ada nya kebijakan untuk melakukan impor cabai. Catatan kritis nya adalah mengapa di saat produksi berlimpah dan harga anjlok, kok tiba-tiba terdengar suara impor cabai ?
Dari contoh ini saja, ternyata upaya memakmurkan petani, tidak bisa hanya ditempuh dengan peningkatan produksi atau produktivitas semata. Pengalaman menunjukkan, bila produksi berlimpah, biasa nya akan diikuti oleh jatuh nya harga di tingkat petani. Kalau sudah demikian, biasa nya Pemerintah tidak terlampau ambil pusing.
Padahal, sebagai pembuat kebijakan, mesti nya Pemerintah mampu membuat jaminan harga yang tidak merugikan petani. Sikap Pemerintah dalam melindungi dan membela petani semacam inilah yang ditunggu-tunggu oleh para petani di lapangan. Dengan demikian, negara atau Pemerintah, benar-benar hadir dalam kehidupan petani.
Entang Sastraatmadja
Ketua Harian DPD HKTI Jawa Barat
Team Admin Politic News Indonesia