JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengingatkan derasnya arus globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telah menjejali benak dan pemikiran anak bangsa dengan berbagai nilai-nilai baru. Sayangnya, tidak semua nilai-nilai baru tersebut selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia. Tidak semua penerima informasi tersebut juga memiliki literasi dan keadaban digital yang memadai untuk memilah, memilih, dan menyaring informasi yang masuk.
Di saat bersamaan, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mengungkapkan bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia tergolong tinggi. Sepanjang tahun 2022-2023, tingkat penetrasi internet di Indonesia telah mencapai 78,19 persen, atau sekitar 215,6 juta jiwa.
“Berpadunya dua variabel, antara rendahnya literasi dan keadaban digital dengan tingginya tingkat penetrasi internet inilah yang kemudian berpotensi memicu lahirnya berbagai persoalan. Misalnya, pada triwulan I tahun 2023 saja, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengidentifikasi sebanyak 425 isu hoaks yang beredar di website dan platform digital. Di sinilah pentingnya kehadiran institusi yang mengajarkan pendidikan akhlak, seperti halnya Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Aqidah Al-Hasyimiah Jakarta,” ujar Bamsoet saat memberikan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Badan Eksekutif Mahasiswa NU se-Nusantara di STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiah Jakarta, Selasa (16/5/23).
Hadir antara lain Rektor STAI Al-Aqidah Al-Hasyimiah Jakarta Muslihan Habib, Presidium Nasional BEM Perguruan Tinggi NU Se-Nusantara, Wahyu Al Fajri, Ketua Yayasan YADAI Jamaluddin F Hasyim, serta Pembina Yayasan Da’wah Syiarul Islam Sulaiman Haikal.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan memudarnya identitas dan karakter kebangsaan dapat dirasakan ketika peradaban dan nilai-nilai kearifan lokal seperti gotong royong, adab sopan santun, kian tergeser oleh gaya hidup hedonis, individualis, egois dan pragmatis. Tradisi dan nilai luhur budaya bangsa, dianggap kuno dan membosankan. Pada saat yang bersamaan, nilai-nilai budaya asing justru dianggap lebih maju dan modern.
“Tumbuhnya paham radikalisme sebagai konsekuensi dari pemaknaan sempit dan tidak kontekstual terhadap ajaran agama, juga mulai merasuk pada generasi muda bangsa. Dalam perspektif yang lebih luas, tindakan radikal dan teror kepada rakyat, juga dilakukan oleh kelompok kekerasan bersenjata dalam bentuk gerakan separatisme,” kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum FKPPI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini memaparkan, dekadensi moral generasi muda bangsa dapat
dilihat dari beberapa kasus kejahatan yang melibatkan pelaku anak. Semisal, ketika anak-anak melakukan penganiayaan di luar batas perikemanusiaan, hingga menyebabkan korban meregang nyawa.
Sementara, sikap intoleransi dalam kehidupan beragama dapat dirujuk dari data SETARA Institute. Terungkap sepanjang tahun 2022, terdapat 175 peristiwa dan 333 tindakan pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di masyarakat.
“Dalam rangka mewujudkan harmoni dan menjaga keserasian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, setiap elemen masyarakat harus memiliki wawasan kebangsaan yang memandang diri dan lingkungannya sebagai satu ekosistem lingkungan. Saling menghormati dan saling bekerjasama. Karena sebagai mahluk sosial, hidup berdampingan adalah fitrah kemanusiaan,” pungkas Bamsoet. (*)
Jurnalis Independent Politic News