Suroto
Akhir akhir ini, banyak para elit politik dan juga akademisi yang coba usulkan model pengembangan kebijakan dan kemitraan untuk menolong petani dan pelaku ekonomi rakyat di sektor pangan pada umumnya. Hal ini jadi perhatian luas setelah viral seorang peternak dari Blitar yang bernama Suroto yang mengeluhkan kepada Presiden soal harga jagung untuk pakan ternaknya yang mahal dan sempat dicokok polisi dan kemudian dipanggil Presiden untuk mendapatkan bantuan jagung.
Skema usulanya, dengan bahasa yang berbeda beda kembali ke soal model kemitraan model lama Plasma Inti Rakyat ( PIR) bagi mereka para petani, peternak, petambak, nelayan sebagai plasma dan perusahaan besar dan juga perusahaan milik pemerintah sebagai inti dengan kemasan istilah istilah baru. Korporatisasi petani, korporatisasi peternak, dan lebih tidak jelas lagi adalah korporatisasi koperasi seperti yang dibuat oleh Kementerian Koperasi dan UKM dan lain lain.
Saudara Fadel Mumahad misalnya, dia usulkan pola kemitraan dengan contohkan dengan model koperasi yanh perkuat para petani di beberapa negara lain. Dari statementnya di Detik ( 27/9), dia tidak paham apa yang jadi kunci sukses dari koperasi yang mampu betul betul sejahterakan petani dan peternak. Dia tidak benar benar memahami yang terjadi dengan koperasi pertanian yang ada di luar negeri seperti Zennoh di Jepang, dan Model koperasi multipihak di sektor pertanian seperti I COOP dan NACF di Korea Selatan, atau model sukses koperasi di koperasi peternakan Fontterra di New Zeland yang dia sebutkan.
Koperasi koperasi di negara itu diperankan secara sentral dan kedaulatan anggotanya betul betul dijamin melalui koperasi. Bukan dijadikan sebagai obyek.
Usulanya yang hanya tempatkan anggota koperasi sebagai obyek dalam kemitraan semu dengan posisikan BUMD dan korporasi swasta kapitalis sebagai pemain utama di bisnis off farm seperti sebagai avalis dan pemasaran ini adalah model lama PIR ( Plasma Inti Rakyat).
Kenyataannya karena aspek kelembagaan atau organisasi koperasi selalu di tempatkan sebagai obyek program dan kebijakan itu hanya untungkan korporat swasta dan BUMD atau BUMN.
Padahal, Koperasi koperasi di negara maju yang dia sebutkan itu pola kerjanya adalah posisikan koperasi itu sebagai yang tertinggi dalam pola kemitraan. Rakyat dan kepentinganya dijamin secara organisasional sebagai yang utama.
Anggota koperasi yang merupakan petani petani dan peternak itu yang duduk seratus persen sebagai pengurus koperasi. Lalu untuk melayani kebutuhan anggota yang mereka wakili mengambil keputusan strategis yang diterjemahkan oleh manajer manajer handal dan profesional untuk layani anggotanya.
Perusahaan mitra baik itu perusahaan swasta atau pemerintah bekerja dan datang ke koperasi untuk layani kebutuhan anggota koperasi yang bergerak di sektor on farm atau budidaya/ produksi dan sektor off farmnya seperti pemrosesan, pemasaran, pembiayaan yanh dikerjakan oleh koperasi dengan arah kebijakan umum yang dibuat para anggota petani dan peternak itu di rapat umum anggota. Bukan dijadikan obyek program seperti dalam pola kemitraan semua yang selama ini terjadi.
Model kebijakan paket input Pemerintah yang selama ini terjadi selalu tempatkan petani / peternak sebagai obyek seperti diusulkan oleh Fadel Muahamad.
Nilai tambah ekonomi anggota dan persoalan predator harga sebanya adalah mafia kartel pangan yang selama ini tidak sejahterakan petani dan peternak. Jadi usulan Fadel Muhamad itu lagu lama yang dikemas dengan istilah baru saja.
Koperasi pertanian di Indonesia itu belum berperan penting karena selama ini bukan ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bisnis pertanian dan pangan secara luas. Mereka tidak dihargai tapi selalu dilecehkan dengan disebut berbagai kelemahanya baik SDM maupun manajemenya dengan solusi kebijakan model paket input pemerintah yang hanya bicara soal akses kredit, bantuan teknis pemasaran dan produksi, subsidi pupuk dan bantuan sarana produksi tani ( saprotan).
Kita sejak jaman Orde Baru tidak pernah lakukan perubahan untuk perkuat kelembagaan koperasi petani dan peternak seperti di banyak negara maju yang Saudara Fadel sebutkan.
Penulis sebelum pandemi sempat berkunjung ke La Federe, koperasi pertanian di Propinsi Quebec, Canada. Koperasi pertanian ini benar benar kuasai ekonomi pertanian dan pangan pada umumnya dari hulu hingga hilir. Koperasi ini benar benar dimiliki dan dikendalikam sepenuhnya oleh para petani dan peternak.
Para petani dan peternak skala pertanian keluarga ( family farming) itu benar benar yang miliki dan kendalikan koperasi dan perusahaan mitra yang akan mendukung usaha petani dan peternak di sektor on farm.
Di Indonesia ini, mafia kartel pangan yang kuasai bisnis off farm seperti pengolahan, pemasaran dan juga non farm seperti logistik, transportasi dan lain lain tanpa kepemilikan petani dan peternak. Petani dan peternak kita di Indonesia hanya sebagai korban kebijakan paket input pemerintah dan juga mafia kartel. Mereka tidak punya nilai tambah ekonomi yang berarti untuk tingkatkan kesejahteraan.
Kita tidak pernah benar benar tempatkan petani dan peternak dan pelaku ekonomi rakyat kita sebagai pemegang kendali. Selalu dijadikan obyek. Bahkan kelembagaan koperasi ini disubordinasi, didiskriminasi dan bahkan dieliminasi di dalam regulasi dan kebijakan. Jadi posisinya tidak mungkin akan mampu menjadi soko guru, soko pinggiranpun tidak dan hanya jadi pelengkap penderita.
Tak hanya soal harga jagung, tapi sektor pangan secara umum yang dikuasai oleh mafia kartel pangan. Mereka bahkan sudah bersifat predatorik.
Kalau pemerintah mau serius hapuskan persoalan di sektor pangan ini maka hapuskan model kebijakan paket input, perkuat petani dan peternak, petambak, nelayan dan pelaku produksi skala family farming sebagai subyek dalam model kelembagaan koperasi seperti yang saya katakan di atas, lalu pemerintah harus hadir buat kebijakan trade off yang untungkan rakyat, bukan seperti sekarang ini yang justru untungkan mafia kartel pangan dan importir.
Jakarta, 27 September 2021
Suroto
Ketua AKSES
Team Admin Politic News Indonesia