JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi lahirnya buku ‘NKRI Harga Mati’ karya Prof. Dr. Ir. H. Muhammad Jafar
Hafsah. Melalui buku ini, cakrawala pandang terhadap gagasan negara kesatuan dikonstruksikan dari berbagai perspektif, termasuk di dalamnya rujukan global, sudut pandang historis, faktor geografis dan demografi, landasan konstitusional, rujukan sistem pemerintahan dan pengelolaan sumberdaya alam, aspek sosial budaya, serta eksistensi partai politik.
“Kita patut bersyukur setelah melewati usia 77 tahun kemerdekaan, Indonesia masih tetap tegak berdiri dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena faktanya, tidak semua negara mampu mempertahankan keutuhan negaranya. Misalnya Uni Soviet yang terpecah menjadi 15 negara menjelang 70 tahun usianya, dari tahun 1922 hingga 1992. Maupun Yugoslavia juga pecah menjadi 7 negara menjelang 74 tahun usianya dari tahun 1918 hingga 1992,” ujar Bamsoet dalam peluncuran buku ‘NKRI Harga Mati’ karya Jafar Hafsah, di Komplek MPR RI, Jakarta, Rabu (24/8/22).
Turut hadir Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan dan Fadel Muhammad, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimutri Yudhoyono, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono, Rektor IPB University sekaligus Ketua Umum ICMI Arif Satria, serta Pakar Hukum Tata Negara Andi Irmanputra Sidin. Hadir pula para Anggota DPR RI, antara lain Teuku Riefky Harsya, Herman Khaeron, dan Muslim.
Ketua DPR RI ke-20 sekaligus mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, merujuk aspek yuridis, gagasan negara kesatuan merupakan pengejawantahan rumusan sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Gagasan ini kemudian dijabarkan secara tersurat dan ditegaskan dalam rumusan UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 Ayat (1), menyatakan bahwa negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
“Semangat dan cita-cita mewujudkan negara kesatuan juga termanifestasikan pada rumusan pasal 18 Ayat (1) yang menyatakan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, frasa ‘dibagi atas’ dan bukan ‘terdiri atas’ menegaskan bahwa negara kita adalah negara kesatuan, di mana kedaulatan negara berada di pusat. Hal ini berbeda dengan frasa terdiri atas, yang cenderung merujuk pada konsep federalisme, di mana kedaulatan berada di tangan masing-masing negara bagian.
“Sejarah memang mencatat, Indonesia pernah beralih menjadi federalisme sejak pemberlakuan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Bentuk federalisme ternyata tidak menjamin terwujudnya stabilitas politik, tidak mampu mengelola kemajemukan antar daerah, serta tidak mampu menjawab berbagai persoalan kebangsaan yang mengemuka pada saat itu. Sehingga pada 17 Agustus 1950, para pendiri bangsa bersepakat untuk kembali pada bentuk negara kesatuan. Diperkuat kembali dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila sekaligus Wakil Ketua Umum/Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menambahkan, setelah melampaui dinamika kesejarahan, komitmen untuk mempertahankan NKRI tidak pernah tergoyahkan. Dibuktikan ketika amendemen terhadap Konstitusi akan bergulir, MPR telah membangun beberapa kesepakatan dasar, salah satunya adalah, bahwa perubahan terhadap Undang-Undang Dasar, dilakukan dengan tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Kesepakatan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa bentuk negara kesatuan adalah legasi kesejarahan yang tidak boleh kita ingkari, yang telah ditetapkan sejak berdirinya negara Indonesia. Bentuk negara kesatuan dipandang mampu mewadahi karakteristik bangsa Indonesia yang sangat majemuk dari berbagai aspek dan dimensi,” pungkas Bamsoet. (*)
Jurnalis Independent Politic News