POLITICNEWS.ID, Jakarta: Kalangan dewan menolak rencana kenaikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono menyesuaikan tarif tol karena kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Anggota Komisi V DPR RI, Suryadi Jaya Purnama mengingatkan Menteri Basuki, rencana kenaikan tarif tol mempertimbangkan kemauan bayar pengguna atau willingness to pay (WTP) yang dilihat dari hasil survei tidak tepat.
“Terkait rencana kenaikan tarif tol tersebut, kami mengingatkan bahwa berdasarkan UU No 2 Tahun 2022 Tentang Jalan disebutkan bahwa Tarif Tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan atau ability to pay (ATP) dan bukan berdasarkan kemauan bayar pengguna atau willingness to pay (WTP),” terang dia kepada wartawan, Jumat, 23 September 2022.
Suryadi Jaya Purnama katakan, dalam Pasal 48 ayat (1) jelas disebutkan bahwa Tarif Tol dihitung berdasarkan kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan, dan kelayakan investasi.
“Kemudian, pada ayat (3) disebutkan bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan a. pengaruh laju inflasi; dan b. evaluasi terhadap pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Jalan Tol,” jelasnya.
Politikus PKS ini memaparkan, perbedaan kedua terminologi di atas adalah sebagai berikut. Kemampuan membayar atau ability to pay (ATP) ditentukan melalui kajian atas pola pengeluaran individu, khususnya pengguna dalam mengkonsumsi pelayanan jalan tol.
“ATP akan dipengaruhi besarnya pendapatan, kebutuhan dan biaya transportasi. Sedangkan kemauan membayar atau willingness to pay (WTP) ditentukan melalui kajian atas kesediaan individu, khususnya pengguna dalam membayar jasa pelayanan jalan tol. ATP dan WTP biasanya ditentukan melalui survei sebelum suatu jalan tol dibangun atau diresmikan,” terangnya.
Seharusnya, lanjut Suryadi Jaya Purnama, penelitian terhadap ATP sesuai UU No. 2 Tahun 2022 Tentang Jalan di atas dilakukan secara transparan dan partisipatif mengingat kenaikan harga BBM yang terjadi saat ini sudah sangat mempengaruhi pola pengeluaran masyarakat luas pengguna jalan tol.
“Oleh karena itu, kami meminta Pemerintah membatalkan rencana kenaikan tarif tol, sebab kenaikan inflasi saat ini terjadi karena adanya kejadian luar biasa dampak dari kenaikan harga BBM,” kata Legislator Dapil Nusa Tenggara Barat II ini.
Suryadi Jaya Purnama juga berpandangan, jika tarif tol dinaikkan dengan alasan penyesuaian terhadap pengaruh laju inflasi, maka kenaikan tarif tol ini justru berpotensi semakin menaikkan laju inflasi akibat naiknya biaya logistik.
Tak hanya itu, kenaikan tarif tol tersebut tidak sesuai lantaran Indonesia masih dalam pemulihan dari krisis pandemi Covid-19, di mana sektor transportasi merupakan sektor yang paling terpukul.
“Dengan kondisi saat ini saja biaya logistik di Indonesia masih sangat tinggi, dimana menurut penelitian Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia tahun 2017 ongkos logistik Indonesia mencapai 23,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),” terang Suryadi Jaya Purnama.
Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan sejumlah negara ASEAN lainnya seperti Thailand (13,2 persen), Malaysia (13 persen), dan Singapura (8,1 persen). Kenaikan biaya logistik, lanjut dia, nantinya akan berdampak pada kenaikan harga barang-barang sehingga semakin memukul tingkat konsumsi masyarakat dan membebani dunia usaha terutama UMKM terhadap rantai pasok yang cepat dan murah.
“Kita juga mengingatkan bahwa kenaikan tarif tol berpotensi menyebabkan beralihnya jalur logistik. Banyak truk yang akan kembali melewati jalur kota yang lebih terjangkau biayanya sehingga menjadi tidak sesuai dengan tujuan dibangunnya jalan tol menurut Pemerintah, yaitu sebagai “backbone” dalam konektivitas antarwilayah dan efisiensi biaya logistik di Indonesia,” demikian kata Suryadi Jaya Purnama.