PoliticNews.ID – Padang Pariaman : Pesan agama (Islam) sangat gamblang. Pendekatan diri kepada Tuhan dilakukan dengan tindakan yang bernilai. Dalam Qurban, nilai yang didorong adalah solidaritas.
Berqurban adalah ritus tua, setua peradaban manusia. Kita dapat temukan tradisi berqurban di budaya dan agama mulai dari Yunani kuno, bangsa Aztek sampai Islam. Qurban adalah praktik keagamaan, persembahan pada dewa, tuhan. Qurban bukan ritus an sich. Ia adalah simbol. Ia mengandung pesan.
Demikian narasumber Dr. Sunaryo (dosen Universitas Paramadina) menyampaikan dalam sebuah pertemuan yang dilaksanakan secara virtual oleh Paramadina Graduate School of Islamic Studies (PGSI) bertemakan “Etos Qurban dan Kepemimpinan Nasional” pada Selasa (27/06). Narasumber kedua adalah Arif Zulhilmi (pemikir muda Paramadina).
Intinya, menurut Sunaryo kaum Muslim tidak boleh meninggalkan tanggung jawab sosial, harus terlibat menanggulangi persoalan sosial. Turut memikul tanggung jawab sosial, saleh individual, saleh sosial.
“Yang tak kalah penting, ritus tahunan qurban memiliki potensi besar dalam upaya pemberdayaan kaum yang lemah. Sayangnya, meskipun potensi dan nilai qurban secara ekonomi cukup besar namun tidak dikelola secara baik. Hasilnya, potensi qurban itu lenyap dalam hitungan hari. Hewan qurban disembelih, lalu didistribusikan pada yang kurang mampu. Itu sudah benar. Tetapi, praktek tersebut tidak punya efek emansipasi. Pesan pemberdayaannya tidak bunyi.” Katanya.
Bagi Sunaryo, otokritik ini harus dilontarkan pada pengelolaan potensi pemberdayaan umat. “Potensi pemberdayaan umat yang hanya selesai pada tingkat seremoni ritual. Dalam konteks iammah, kepemimpinan, mengorganisasikan. Harus ada kepemimpinan, organisasi negara itu penting dilakukan bersama-sama, secara kolektif. Untuk satu tujuan tertentu menciptakan masyarakat dan ummat.” tukas Sunaryo.
Narasumber Arif Zulhilmi menekankan bahwa qurban itu bukan hanya penyembelihan hewan. “Yang lebih penting adalah menyembelih sifat-sifat hewani. Sifat rakus, misalnya adalah karakter hewani yang harus disembelih, dibuang. Korupsi terjadi karena kerakusan yang masih menguasai diri seseorang. Negeri ini akan mampu mencapai cita-cita kemerdekaannya bila para pemimpinnya sudah menyembelih sifat-sifat hewaninya,” pungkas Zulhilmi .
Di akhir diskusi, Dr. M. Subhi-Ibrahim, Direktur PGSI menambahkan bahwa,
“Qurban punya pesan sosial yang kuat. Penggantian Nabi Ismail sebagai objek qurban dengan domba memiliki pesan yang sangat penting, yakni pesan kemanusiaan.”
Bagi Subhi-Ibrahim, kemanusiaan tidak berseberangan dengan ketuhanan. “Allah tidak mengorbankan Ismail. Allah tidak menjadikan manusia sebagai sarana penyembahan dan persembahan. Allah tidak mengajarkan bahwa untuk mendekati-Nya dengan mengorbankan manusia dan kemanusiaan. Allah menginginkan manusia menjadi tujuan pada dirinya sendiri.” Paparnya.
Inilah esensi ritus qurban. Pendekatan diri kepada Tuhan mensyaratkan mendekat kepada yang berkekurangan, yang kurang beruntung. Bila ibadah puasa mengajak si kaya merasakan laparnya si miskin, qurban mengajak si miskin merasakan kenyang si kaya. Berqurban berarti mendekatkan diri dengan mengakrabkan diri dengan hamba-hamba-Nya yang lemah, tidak berdaya. (QS. Al-Hajj [22]:28).
Subhi-Ibrahim mengakhiri bahwa “Dalam kepemimpinan, kemanusiaan tidak pernah boleh diabaikan. Pemimpin nasional harus memberi jaminan penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan sekaligus mendoromg solidaritas sosial.”.
Sumber : Arief Tito – Manajer Media dan Visual Universitas Paramadina Jakarta.
Penggiat Desa. Lakukan yang Perlu saja (Prioritas).
Kita Gak perlu memenangkan semua Pertempuran.
Tinggal di Padang Pariaman, Sumatera Barat.