JAKARTA – Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber pembentukan hukum dalam sistem hukum nasional memiliki pijakan legalitas yang kuat. Baik dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), maupun dalam rumusan Pasal 2 UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Namun perlu dikaji lebih dalam, apakah status Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum tersebut benar-benar termanifestasi secara nyata atau hanya bersifat simbolis.
“Kita masih mempunyai tantangan untuk memastikan bahwa segala peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah, telah sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Merujuk data rekapitulasi perkara pengujian undang-undang yang teregistrasi di Mahkamah Konstitusi selama kurun waktu tahun 2003 hingga tahun 2021, lebih dari 1.400 perkara yang diajukan ke MK dengan melibatkan lebih dari 700 undang-undang yang diuji,” ujar Bamsoet saat membuka Seminar Nasional ‘Investasi Berasaskan Pancasila’ yang diselenggarakan Mahasiswa Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia, di Komplek Majelis, Kamis (11/11/21).
Turut menjadi pembicara antara lain Wakil Presiden Republik Indonesia ke-6, Jenderal TNI (Pur) Try Sutrisno, Hakim Agung Republik Indonesia Syamsul Maarif, Hakim Konstitusi Republik Indonesia Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Rektor Universitas Kristen Indonesia Dhaniswara K. Harjono, serta Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 2003-2008 Maruarar Siahaan.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, dari banyaknya gugatan judicial review yang diajukan ke MK dan adanya gugatan yang dikabulkan, menunjukkan bahwa masih ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Konstitusi. Dapat dipastikan, peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Konstitusi, pasti juga bertentangan dengan Pancasila. Karena segala norma hukum yang diatur dalam Konstitusi adalah bersumber dari, dan dijiwai oleh Pancasila.
“Kedudukan Pancasila adalah sebagai rujukan pertama dan utama yang memiliki daya ikat terhadap segala jenis peraturan perundang-undangan. Asas hierarki hukum lex superiori derogat legi inferiori atau hukum yang tinggi mengesampingkan hukum yang rendah harus ditegakkan. Internalisasi Pancasila dalam pembangunan sistem hukum di Indonesia adalah sebuah keniscayaan,” tandas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, selain berperan dalam konstruksi hukum, Pancasila pada khususnya maupun Empat Pilar MPR RI pada umumnya, juga berperan dalam mempersiapkan bangsa Indonesia menghadapi era revolusi industri 4.0. Didorong derasnya arus globalisasi, era revolusi industri 4.0 sebagai era keterbukaan informasi tanpa batas, interaksi dan transaksi antara individu dan negara-negara yang berbeda, memiliki dampak dan konsekuensi politik, sosial, serta budaya pada tingkat dan intensitas yang berbeda pula.
“Masuknya Indonesia dalam proses globalisasi ini harus dipahami sebagai suatu keniscayaan dalam menghadapi medan pertarungan terbuka bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia. Pertarungan itu terjadi di berbagai bidang, baik melalui perdagangan, pendidikan maupun teknologi informasi,” terang Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, globalisasi yang mengusung ideologi neoliberalisme sangat berdampak bagi bangsa Indonesia, yaitu berupa pergeseran tata nilai, ideologi dan budaya. Namun, tidaklah arif apabila melihat globalisasi secara apriori, atau sebaliknya, menerima globalisasi dengan mentah-mentah. Karenanya, karakteristik bangsa yang kuat dalam memegang teguh ideologi negara, dan ditunjang dengan pelaksanaan roda pemerintahan yang demokratis, menjadi landasan penting bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi setiap tantangan global.
“Untuk menjadi sebuah bangsa yang besar, maju, dan unggul di tengah persaingan yang demikian cepat dan ketat, setidaknya kita harus memiliki tiga landasan fundamental yang kuat. Pertama, kita harus menjaga dan memperkuat kemandirian kita sebagai sebuah bangsa. Kita harus mampu mandiri dengan sumber-sumber daya yang kita miliki, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Setahap demi setahap kita harus mereduksi ketergantungan dari bangsa lain,” terang Bamsoet.
Kedua, bangsa Indonesia harus memiliki daya saing yang semakin tinggi. Di era globalisasi yang sarat dengan persaingan dan tantangan, bangsa yang menang dan unggul adalah bangsa yang kreatif dan inovatif. Bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Cerdas mengambil peluang, serta berani menghadapi perubahan.
“Ketiga, kita harus membangun dan memiliki peradaban bangsa yang mulia. Kita perlu terus mempertahankan nilai, jati diri, dan karakter bangsa yang luhur dan terhormat. Jati diri bangsa harus senantiasa dijaga, Pancasila sebagai ideologi negara, jiwa dan falsafah bangsa, sebagai pemersatu bangsa, harus senantiasa dipahami, diamalkan, dan terus digelorakan oleh seluruh komponen bangsa, utamanya kepada generasi muda Indonesia,” pungkas Bamsoet. (*)
Jurnalis Independent Politic News